1. Ikhtisar
Sahara Barat (الصحراء الغربيةAṣ-Ṣaḥrā' al-GharbiyyahBahasa Arab; Sáhara OccidentalSáhara OksidentalBahasa Spanyol; Taneẓroft TutrimtTanezroft TutrimtRumpun Bahasa Berber) adalah sebuah wilayah sengketa di Maghreb, Afrika Barat Laut. Wilayah ini memiliki luas permukaan sekitar 266.00 K km2 hingga 272.00 K km2, sebagian besar terdiri dari dataran gurun. Dengan populasi yang diperkirakan sekitar 570.000 hingga 620.000 jiwa, Sahara Barat merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk terjarang di dunia. Kota terbesarnya adalah Laayoune (juga dieja El Aaiún), yang menampung sebagian besar penduduk.
Secara historis dihuni oleh suku-suku Berber dan kemudian dipengaruhi oleh budaya Arab dan Islam, wilayah ini menjadi koloni Spanyol dari akhir abad ke-19 hingga tahun 1975. Sejak penarikan Spanyol, status kedaulatan Sahara Barat menjadi subjek sengketa berkepanjangan. Maroko mengklaim kedaulatan atas seluruh wilayah dan secara de facto menguasai sekitar 70-80% wilayahnya, yang disebut sebagai Provinsi Selatan. Di sisi lain, Front Polisario, sebuah gerakan pembebasan nasional Sahrawi yang didukung oleh Aljazair, mendeklarasikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) pada tahun 1976 dan mengendalikan sisa wilayah di bagian timur, yang dikenal sebagai Zona Bebas. Konflik bersenjata antara Maroko dan Front Polisario, yang dikenal sebagai Perang Sahara Barat, berlangsung hingga gencatan senjata yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1991.
PBB menganggap Sahara Barat sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri (non-self-governing territory), dan hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi telah berulang kali ditegaskan dalam berbagai resolusi PBB. Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO) didirikan pada tahun 1991 dengan mandat utama untuk menyelenggarakan referendum yang akan memungkinkan rakyat Sahrawi memilih antara kemerdekaan atau integrasi dengan Maroko. Namun, referendum tersebut hingga kini belum terlaksana karena perselisihan mengenai kriteria kelayakan pemilih dan perbedaan pandangan politik yang mendasar antara pihak-pihak yang terlibat.
Situasi ini telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang signifikan, terutama bagi puluhan ribu pengungsi Sahrawi yang tinggal di kamp-kamp di Provinsi Tindouf, Aljazair, selama beberapa dekade dalam kondisi yang sulit. Pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang dikuasai Maroko maupun di kamp-kamp pengungsi telah dilaporkan oleh berbagai organisasi internasional, termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, penahanan sewenang-wenang, dan tuduhan penyiksaan. Eksploitasi sumber daya alam Sahara Barat, terutama fosfat dan perikanan, oleh Maroko juga menjadi isu kontroversial yang dikritik karena melanggar hukum internasional dan hak rakyat Sahrawi atas sumber daya mereka.
Komunitas internasional terpecah dalam pendekatannya terhadap konflik ini. RDAS diakui oleh sejumlah negara, terutama di Afrika dan Amerika Latin, dan merupakan anggota penuh Uni Afrika. Maroko, di sisi lain, mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab dan beberapa kekuatan global. Upaya perundingan damai yang dimediasi PBB, termasuk berbagai proposal seperti Rencana Baker dan proposal otonomi Maroko, belum berhasil mencapai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Situasi tetap tegang, dengan pelanggaran gencatan senjata yang dilaporkan secara berkala dan belum adanya prospek penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan yang menjamin hak-hak rakyat Sahrawi. Fokus utama pembahasan mencakup berbagai aspek Sahara Barat, terutama hak asasi manusia, dampak sosial, dan upaya penyelesaian konflik yang adil.
2. Sejarah
Sejarah Sahara Barat mencakup periode panjang dari masa pemukiman awal oleh suku-suku asli, masuknya pengaruh peradaban eksternal dan Islam, hingga era kolonialisme Spanyol. Setelah penarikan Spanyol, wilayah ini menjadi pusat sengketa kedaulatan yang kompleks antara Maroko, Mauritania (pada awalnya), dan gerakan kemerdekaan Sahrawi yang diwakili oleh Front Polisario, yang mengarah pada konflik bersenjata dan upaya perdamaian yang berlarut-larut di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perkembangan terkini di abad ke-21 terus diwarnai oleh ketegangan politik dan militer, serta dampak signifikan terhadap hak asasi manusia dan kehidupan penduduk lokal.
2.1. Sejarah awal
Penduduk paling awal yang diketahui di Sahara Barat adalah suku Gaetuli. Bergantung pada abadnya, sumber-sumber era Romawi menggambarkan wilayah ini dihuni oleh suku Gaetulian Autololes atau suku Gaetulian Daradae. Warisan Berber masih terlihat jelas dari toponimi regional dan nama tempat, serta dari nama-nama suku. Penduduk awal lainnya di Sahara Barat mungkin adalah suku Bafour, dan kemudian orang Serer. Suku Bafour kemudian digantikan atau diserap oleh populasi berbahasa Berber, yang pada akhirnya bergabung dengan suku-suku Arab Bani Hassan yang bermigrasi.
Masuknya Islam pada abad ke-8 memainkan peran utama dalam perkembangan wilayah Maghreb. Perdagangan berkembang lebih lanjut, dan wilayah ini mungkin menjadi salah
satu rute untuk kafilah unta, terutama antara Marrakesh dan Tombouktou (sekarang Timbuktu) di Mali. Pada abad ke-11, bangsa Arab Maqil (kurang dari 200 individu) menetap di Maroko (terutama di lembah Sungai Draa, antara Sungai Moulouya, Tafilalt, dan Taourirt). Menjelang akhir Kekhalifahan Almohad, Bani Hassan, sebuah sub-suku Maqil, dipanggil oleh penguasa lokal Sous untuk memadamkan pemberontakan; mereka menetap di Ksour Sous dan menguasai kota-kota seperti Taroudant. Selama pemerintahan Dinasti Marinid, Bani Hassan memberontak tetapi dikalahkan oleh Sultan dan melarikan diri ke seberang sungai kering Saguia el-Hamra. Bani Hassan kemudian terus-menerus berperang dengan suku Berber nomaden Lamtuna di Sahara. Selama kurang lebih lima abad, melalui proses akulturasi dan percampuran yang kompleks yang juga terlihat di tempat lain di Maghreb dan Afrika Utara, beberapa suku Berber asli bercampur dengan suku Arab Maqil dan membentuk budaya yang unik bagi Maroko dan Mauritania.
Sejarah wilayah Sahara Barat kurang begitu dikenal hingga adanya hubungan perdagangan antara wilayah ini dengan Eropa pada abad ke-4 SM. Para pelaut Portugis tiba di Tanjung Bojador pada tahun 1434.
2.2. Pemerintahan kolonial Spanyol
Kehadiran Spanyol di wilayah Sahara Barat modern berlangsung dari tahun 1884 hingga 1975. Minat awal Spanyol di Sahara difokuskan pada penggunaannya sebagai pelabuhan untuk perdagangan budak, namun pada tahun 1700-an, Spanyol telah mengalihkan kegiatan ekonomi di pantai Sahara ke arah penangkapan ikan komersial. Pada abad ke-19, Spanyol mengklaim wilayah pesisir selatan dan penetrasi ke pedalaman secara bertahap menyusul; kemudian pada tahun 1904 wilayah utara diperoleh. Setelah kesepakatan di antara kekuatan kolonial Eropa pada Konferensi Berlin tahun 1884 mengenai pembagian wilayah pengaruh di Afrika, pada tahun yang sama Spanyol menguasai Sahara Barat dan menjadikannya sebagai koloni Spanyol.

Meskipun mendirikan koloni pertama mereka di wilayah tersebut di Teluk Río de Oro pada tahun 1884, Spanyol tidak dapat menenangkan wilayah pedalaman hingga tahun 1930-an. Serbuan dan pemberontakan oleh penduduk asli Sahara membuat pasukan Spanyol tidak dapat menguasai sebagian besar wilayah tersebut untuk waktu yang lama. Wilayah ini akhirnya ditaklukkan oleh pasukan gabungan Spanyol dan Prancis pada tahun 1934, tahun yang sama ketika Spanyol membagi wilayah Sahara mereka menjadi dua wilayah yang dinamai menurut sungai: Saguia el-Hamra dan Río de Oro. Pada tahun 1912, wilayah ini bersama dengan Ifni dan Protektorat Maroko Selatan (wilayah Tarfaya) digabungkan membentuk Afrika Barat Spanyol.
Setelah tahun 1939 dan pecahnya Perang Dunia II, wilayah ini dikelola oleh Maroko Spanyol. Pada tahun 1958, Spanyol menggabungkan distrik Saguia el-Hamra ("Sungai Merah") di utara dengan Río de Oro (di selatan) untuk membentuk provinsi Sahara Spanyol, menyusul klaim Maroko atas wilayah-wilayah ini pada tahun 1957. Selama perayaan tahunan Maulid Nabi Muhammad, para pembesar lokal menunjukkan penghormatan kepada khalifah sebagai tanda kesetiaan kepada monarki Maroko.
Seiring berjalannya waktu, pemerintahan kolonial Spanyol mulai runtuh seiring dengan gelombang umum dekolonisasi setelah Perang Dunia II; bekas jajahan dan protektorat di Afrika Utara dan Sub-Sahara Afrika memperoleh kemerdekaan dari kekuatan Eropa. Dekolonisasi Spanyol berjalan lebih lambat, tetapi tekanan politik dan sosial internal di daratan Spanyol meningkat menjelang akhir pemerintahan Francisco Franco. Ada tren global menuju dekolonisasi penuh. Spanyol mengembalikan Protektorat Maroko Selatan (wilayah Tarfaya) pada tahun 1958 dan Ifni pada tahun 1969 kepada Maroko.
Pada tahun 1967, kolonisasi Spanyol kembali ditantang oleh gerakan perlawanan damai, Harakat Tahrir, yang menuntut diakhirinya pendudukan. Setelah penindasan dengan kekerasan pada tahun 1970 dalam peristiwa Intifada Zemla, nasionalisme Sahrawi kembali ke akar militernya. Pada tahun 1971, mahasiswa Sahrawi (istilah bahasa Arab untuk mereka yang berasal dari Sahara) di universitas-universitas Maroko mulai mengorganisir gerakan yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Embrio untuk Pembebasan Saguia el-Hamra dan Río de Oro. Gerakan ini mencoba tanpa keberhasilan untuk mendapatkan dukungan dari beberapa pemerintah Arab, termasuk Aljazair dan Maroko. Puncaknya adalah pembentukan Front Polisario pada tahun 1973. Gerilyawan Front berkembang pesat, dan Spanyol kehilangan kendali efektif di pedalaman pada awal tahun 1975. Menjelang tahun 1974-1975, pemerintah Spanyol mengeluarkan janji-janji referendum kemerdekaan di Sahara Barat.
2.3. Awal sengketa kedaulatan dan Perang Sahara Barat
Ketika Spanyol bersiap untuk menarik diri, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha menyelesaikan sengketa klaim atas wilayah tersebut melalui misi kunjungan pada akhir tahun 1975, serta pendapat penasihat dari Mahkamah Internasional (ICJ). ICJ mengakui bahwa Sahara Barat memiliki hubungan historis dengan Maroko dan Mauritania, tetapi hubungan tersebut tidak cukup untuk membuktikan kedaulatan salah satu negara atas wilayah tersebut pada saat penjajahan Spanyol. Oleh karena itu, ICJ menegaskan bahwa penduduk wilayah tersebut memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.
Namun, pada tanggal 31 Oktober 1975, pasukan Maroko menginvasi Sahara Barat dari utara. Beberapa hari kemudian, pada 6 November 1975, Maroko memprakarsai Barisan Hijau (المسيرة الخضراءAl-Masirah al-KhadraBahasa Arab) ke Sahara Barat; sekitar 350.000 warga Maroko tak bersenjata berkumpul di kota Tarfaya di Maroko selatan dan menunggu sinyal dari Raja Hassan II untuk melintasi perbatasan dalam sebuah pawai damai. Tindakan ini meningkatkan tekanan terhadap Spanyol.

Pada hari-hari terakhir pemerintahan Jenderal Francisco Franco, dan setelah Barisan Hijau, pemerintah Spanyol menandatangani perjanjian tripartit dengan Maroko dan Mauritania pada 14 November 1975, untuk mentransfer administrasi wilayah tersebut. Spanyol mengakhiri kehadirannya di Sahara Spanyol dalam waktu tiga bulan, dan pada tahun 1976, pemerintahan Spanyol secara resmi berakhir. Berdasarkan perjanjian tersebut, Maroko dan Mauritania masing-masing bergerak untuk mencaplok wilayah tersebut. Maroko mengambil alih dua pertiga bagian utara Sahara Barat sebagai Provinsi Selatan-nya, sementara Mauritania mengambil alih sepertiga bagian selatan dan menamakannya Tiris al-Gharbiyya, dengan Dakhla sebagai pusat administratifnya.
Aneksasi oleh Maroko dan Mauritania ini ditentang keras oleh Front Polisario, sebuah gerakan nasionalis Sahrawi yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Didukung oleh Aljazair, Front Polisario mendeklarasikan berdirinya Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) pada 27 Februari 1976, dengan pemerintahan dalam pengasingan yang berbasis di Tindouf, Aljazair. Ini memicu Perang Sahara Barat.
Front Polisario pada awalnya memfokuskan serangan gerilyanya terhadap Mauritania. Serangan-serangan ini, termasuk pengeboman terhadap ibu kotanya, Nouakchott, dan target ekonomi lainnya, memberikan tekanan berat pada Mauritania. Akibatnya, pada tahun 1979, Mauritania menandatangani perjanjian damai dengan Front Polisario, menarik semua klaimnya atas Sahara Barat, dan mengakui RDAS. Namun, segera setelah Mauritania menarik diri, Maroko dengan cepat menduduki bagian selatan yang sebelumnya dikuasai Mauritania, memperluas kontrol de facto-nya atas sebagian besar wilayah Sahara Barat, termasuk semua kota besar dan sebagian besar sumber daya alam.
Untuk membendung gerilyawan Polisario, Maroko secara bertahap membangun tembok pasir (dikenal sebagai Berm) yang sangat panjang di gurun pasir. Pembangunan tembok ini secara signifikan membatasi ruang gerak Polisario dan mengkonsolidasikan kontrol Maroko atas wilayah di sebelah barat tembok, yang mencakup sekitar 80% dari Sahara Barat. Front Polisario tetap menguasai wilayah di sebelah timur tembok, yang dikenal sebagai Zona Bebas.
2.4. Gencatan senjata dan upaya perundingan damai

Permusuhan antara Maroko dan Front Polisario berakhir dengan gencatan senjata yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1991. Gencatan senjata ini merupakan bagian dari Rencana Penyelesaian yang lebih luas, yang juga mencakup pembentukan Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO). Mandat utama MINURSO adalah untuk mengawasi gencatan senjata dan menyelenggarakan referendum yang akan memungkinkan rakyat Sahrawi untuk memilih antara kemerdekaan atau integrasi dengan Maroko.
Referendum tersebut awalnya dijadwalkan pada tahun 1992, namun dengan cepat menemui jalan buntu. Masalah utama adalah perselisihan mengenai siapa yang berhak memberikan suara. Front Polisario bersikeras bahwa hanya mereka yang terdaftar dalam sensus Spanyol tahun 1974 (dan keturunan mereka) yang boleh memilih. Di sisi lain, Maroko berpendapat bahwa sensus tersebut tidak akurat karena banyak suku Sahrawi yang melarikan diri dari invasi Spanyol ke Maroko utara pada abad ke-19 tidak tercatat, dan menuntut agar mereka juga dimasukkan dalam daftar pemilih. Selain itu, Maroko juga dituduh mendorong pemukim Maroko ke wilayah tersebut untuk mengubah komposisi demografis demi kepentingannya dalam referendum.
Pada tahun 1997, Persetujuan Houston mencoba untuk menghidupkan kembali proposal referendum, tetapi juga gagal mencapai kemajuan signifikan. Hingga tahun 2010, negosiasi mengenai persyaratan referendum tidak menghasilkan tindakan substantif. Sekitar tahun 2000, Maroko mulai menyatakan bahwa referendum tidak mungkin dilakukan karena tidak adanya kesepakatan mengenai daftar pemilih.
Upaya utusan khusus PBB untuk menemukan titik temu bagi kedua belah pihak tidak berhasil. Pada tahun 1999, PBB telah mengidentifikasi sekitar 85.000 pemilih yang memenuhi syarat, dengan hampir setengahnya berada di bagian Sahara Barat yang dikuasai Maroko atau Maroko selatan, dan sisanya tersebar di antara kamp pengungsi Tindouf, Mauritania, dan tempat-tempat pengasingan lainnya. Front Polisario menerima daftar pemilih ini, seperti yang telah mereka lakukan dengan daftar sebelumnya yang disajikan oleh PBB (keduanya awalnya didasarkan pada sensus Spanyol tahun 1974), tetapi Maroko menolaknya. Ketika para calon pemilih yang ditolak memulai prosedur banding massal, Maroko bersikeras agar setiap aplikasi diperiksa secara individual, yang kembali menghentikan proses tersebut.
Pada tahun 2001, proses tersebut menemui jalan buntu, dan Sekretaris Jenderal PBB untuk pertama kalinya meminta para pihak untuk menjajaki solusi jalan ketiga lainnya. Tak lama setelah Persetujuan Houston (1997), Maroko secara resmi menyatakan bahwa "tidak lagi perlu" untuk memasukkan opsi kemerdekaan dalam pemungutan suara, dan malah menawarkan otonomi.
James Baker, sebagai utusan pribadi Sekretaris Jenderal, mengunjungi semua pihak dan menghasilkan dokumen yang dikenal sebagai "Rencana Baker". Rencana ini dibahas oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000, dan membayangkan Otoritas Sahara Barat (WSA) yang otonom, yang akan diikuti lima tahun kemudian oleh referendum. Setiap orang yang hadir di wilayah tersebut akan diizinkan untuk memilih, terlepas dari tempat lahir dan tanpa memperhatikan sensus Spanyol. Rencana ini ditolak oleh kedua belah pihak, meskipun awalnya berasal dari proposal Maroko. Menurut draf Baker, puluhan ribu imigran pasca-aneksasi dari Maroko (dianggap sebagai pemukim oleh Polisario tetapi sebagai penduduk sah oleh Maroko) akan diberikan suara dalam referendum kemerdekaan Sahrawi, dan surat suara akan dibagi tiga dengan memasukkan "otonomi" yang tidak ditentukan, yang semakin melemahkan kubu kemerdekaan. Maroko juga diizinkan untuk mempertahankan pasukannya di wilayah tersebut dan mempertahankan kendali atas semua masalah keamanan selama tahun-tahun otonomi dan pemilihan umum. Pada tahun 2002, raja Maroko menyatakan bahwa gagasan referendum sudah "usang" karena "tidak dapat dilaksanakan".
Pada tahun 2003, versi baru dari rencana tersebut diresmikan (dikenal sebagai Baker II), dengan beberapa tambahan yang menjelaskan kekuasaan WSA, membuatnya kurang bergantung pada devolusi Maroko. Rencana ini juga memberikan rincian lebih lanjut tentang proses referendum untuk mempersulit upaya penundaan atau sabotase. Draf kedua ini, yang secara mengejutkan diterima oleh Polisario sebagai "dasar negosiasi", tampaknya menandai pergeseran dari posisi Polisario sebelumnya yang hanya mau bernegosiasi berdasarkan standar identifikasi pemilih tahun 1991. Setelah itu, draf tersebut dengan cepat mendapatkan dukungan internasional yang luas, yang berpuncak pada dukungan bulat Dewan Keamanan PBB terhadap rencana tersebut pada musim panas 2003. Namun, Maroko kemudian menolak Baker II, dan James Baker mengundurkan diri dari jabatannya di PBB pada tahun 2004 tanpa berhasil menyelesaikan krisis tersebut.
2.5. Situasi terkini (abad ke-21)


Sejak awal abad ke-21, situasi di Sahara Barat tetap tegang dan belum terselesaikan. Setelah kegagalan Rencana Baker, PBB tidak mengajukan strategi pengganti yang konkret. Raja Muhammad VI secara konsisten menentang referendum kemerdekaan, menyatakan bahwa Maroko tidak akan pernah menyetujuinya dan "tidak akan menyerahkan satu inci pun Sahara tercinta kami, tidak sebutir pasir pun." Pada tahun 2006, ia membentuk badan penasihat yang ditunjuk, Dewan Penasihat Kerajaan untuk Urusan Sahara (CORCAS), yang mengusulkan pemerintahan sendiri Sahara Barat sebagai komunitas otonom di dalam Maroko. Proposal otonomi ini diajukan ke Dewan Keamanan PBB pada pertengahan April 2007, namun Front Polisario menolaknya karena tidak mencakup opsi kemerdekaan penuh.
Ketegangan militer terus berlanjut secara sporadis. Pada tahun 2005, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan melaporkan peningkatan aktivitas militer di kedua sisi garis depan dan pelanggaran beberapa ketentuan gencatan senjata terkait penguatan benteng militer. Front Polisario secara berkala mengancam akan melanjutkan pertempuran, merujuk pada penolakan Maroko terhadap referendum sebagai pelanggaran ketentuan gencatan senjata, meskipun konflik bersenjata skala besar belum terjadi lagi, sebagian besar karena Aljazair, pendukung utama Polisario, belum memberikan lampu hijau.
Pada bulan Mei 2005, demonstrasi dan kerusuhan oleh pendukung kemerdekaan atau referendum pecah di bagian Sahara Barat yang dikuasai Maroko dan di beberapa bagian Maroko selatan (terutama kota Assa). Peristiwa ini, yang oleh sumber-sumber pro-kemerdekaan Sahrawi disebut sebagai "Intifada Kemerdekaan", dihadapi dengan tindakan keras oleh polisi Maroko. Beberapa organisasi hak asasi manusia internasional menyatakan keprihatinan atas apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran oleh pasukan keamanan Maroko, dan sejumlah aktivis Sahrawi dipenjara. Peliputan media internasional terhadap peristiwa ini terbatas karena kebijakan pemerintah Maroko yang mengontrol ketat liputan media independen di wilayah tersebut.
Pada bulan Oktober 2010, kamp protes Gdeim Izik didirikan di dekat Laayoune sebagai protes oleh orang-orang Sahrawi yang terlantar mengenai kondisi kehidupan mereka. Kamp ini menampung lebih dari 12.000 orang. Pada bulan November 2010, pasukan keamanan Maroko memasuki kamp Gdeim Izik pada dini hari, menggunakan helikopter dan meriam air untuk memaksa orang-orang pergi. Front Polisario mengatakan pasukan keamanan Maroko telah membunuh seorang pengunjuk rasa berusia 26 tahun di kamp tersebut, klaim yang dibantah oleh Maroko. Para pengunjuk rasa di Laayoune melemparkan batu ke arah polisi dan membakar ban serta kendaraan. Beberapa bangunan, termasuk stasiun TV, juga dibakar. Pejabat Maroko mengatakan lima personel keamanan tewas dalam kerusuhan tersebut. Pemerintah Maroko menuduh dinas rahasia Aljazair mendalangi dan mendanai kamp Gdeim Izik dengan maksud untuk mengacaukan wilayah tersebut. Pers Spanyol dituduh melakukan kampanye disinformasi untuk mendukung inisiatif Sahrawi, dan semua wartawan asing dicegah bepergian atau diusir dari daerah tersebut.
Pada tahun 2016, Uni Eropa (UE) menyatakan bahwa "Sahara Barat bukan bagian dari wilayah Maroko." Pada bulan Maret 2016, Maroko "mengusir lebih dari 70 staf sipil PBB dari MINURSO" karena hubungan yang tegang setelah Ban Ki-moon menyebut aneksasi Maroko atas Sahara Barat sebagai "pendudukan".
Pada bulan November 2020, gencatan senjata antara Front Polisario dan Maroko runtuh setelah Maroko melancarkan operasi militer di zona penyangga Guerguerat dekat perbatasan Mauritania, yang menurut Maroko bertujuan untuk memulihkan lalu lintas sipil dan komersial yang diblokir oleh Polisario. Front Polisario menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran gencatan senjata dan mengumumkan berakhirnya komitmen terhadap perjanjian tahun 1991, yang mengarah pada bentrokan bersenjata antara kedua belah pihak.
Pada 10 Desember 2020, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump mengumumkan bahwa mereka akan mengakui kedaulatan penuh Maroko atas Sahara Barat sebagai imbalan atas normalisasi hubungan Maroko dengan Israel (Persetujuan normalisasi Israel-Maroko). Langkah ini dikecam oleh Front Polisario dan Aljazair, serta menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa anggota komunitas internasional karena dianggap merusak upaya PBB untuk solusi yang dinegosiasikan dan hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, AS berencana membuka konsulat di Dakhla.
Pada bulan Maret 2022, pemerintah Spanyol, mantan penguasa kolonial, secara mengejutkan mengubah posisi tradisional netralnya dalam konflik tersebut, dengan mendukung proposal otonomi Maroko sebagai "dasar yang paling serius, realistis, dan kredibel untuk penyelesaian sengketa." Langkah ini disambut baik oleh Maroko tetapi dikecam keras oleh Front Polisario dan Aljazair, serta menimbulkan perpecahan dalam koalisi pemerintah Spanyol sendiri.
Pada bulan Juli 2023, Israel secara resmi mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, sebuah langkah yang semakin memperkuat posisi Maroko tetapi juga menuai kritik dari para pendukung hak Sahrawi. Pada Oktober 2024, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menyatakan dukungan untuk proposal otonomi Maroko dan mengumumkan investasi sebesar 25.00 M EUR di Guelmim-Oued Noun, sebuah region yang sebagian mencakup Sahara Barat.
Perubahan sikap beberapa negara besar ini telah mengubah lanskap diplomatik konflik, namun belum menghasilkan terobosan menuju solusi damai yang komprehensif. Situasi hak asasi manusia di wilayah tersebut tetap menjadi perhatian utama, dengan laporan berkelanjutan tentang pembatasan kebebasan dan penindasan terhadap aktivis pro-kemerdekaan Sahrawi di wilayah yang dikuasai Maroko, serta kondisi sulit yang dihadapi para pengungsi di kamp-kamp Tindouf. Upaya PBB untuk menengahi pembicaraan damai terus berlanjut, tetapi prospek untuk referendum penentuan nasib sendiri tampak semakin jauh.
3. Geografi
Sahara Barat terletak di pantai barat laut Afrika, di antara Maroko di utara, Aljazair di timur laut, Mauritania di timur dan selatan, serta Samudra Atlantik Utara di barat. Wilayahnya mencakup area sekitar 266.00 K km2. Sebagian besar wilayah ini terdiri dari gurun pasir dataran rendah dengan hamparan kerikil dan pasir yang luas, serta beberapa daerah berbatu. Wilayah ini merupakan salah satu yang paling kering dan tidak ramah di planet ini.
3.1. Topografi dan iklim

Topografi Sahara Barat didominasi oleh gurun pasir dan dataran berbatu yang luas. Di sepanjang pantai, tanahnya merupakan gurun datar yang rendah, dan semakin ke timur, terutama di bagian utara, ketinggiannya meningkat menjadi pegunungan kecil yang mencapai hingga 600 m. Wilayah ini tidak memiliki sungai permanen, meskipun banjir bandang dapat terjadi pada musim semi di beberapa wadi (lembah sungai kering). Gurun Sahara mencakup sebagian besar wilayah ini.
Iklim Sahara Barat adalah kering (arid) hingga sangat kering. Curah hujan sangat minim dan tidak teratur, dengan rata-rata tahunan kurang dari 100 mm di sebagian besar wilayah. Suhu dapat sangat ekstrem. Di pedalaman, musim panas sangat panas, dengan suhu rata-rata tertinggi mencapai 43 °C hingga 45 °C pada bulan Juli dan Agustus. Selama musim dingin, siang hari masih panas hingga sangat panas, dengan suhu rata-rata tertinggi dari 25 °C hingga 30 °C; namun, di bagian utara wilayah, suhu pada malam hari dapat turun di bawah 0 °C dan dapat membeku pada bulan Desember dan Januari, meskipun ini jarang terjadi.
Wilayah pesisir memiliki iklim yang sedikit lebih moderat karena pengaruh Arus Canaria yang dingin dari Samudra Atlantik. Arus ini dapat menghasilkan kabut dan embun tebal, terutama pada pagi hari, yang memberikan sedikit kelembapan bagi vegetasi pesisir. Suhu di pesisir umumnya lebih sejuk dibandingkan pedalaman.

3.2. Kawasan ekologi utama
Sahara Barat mencakup empat ekoregion terestrial utama:
- Stepa dan hutan Sahara Utara: Wilayah ini mencakup bagian utara dan pedalaman Sahara Barat, ditandai dengan vegetasi stepa yang jarang dan semak belukar yang tahan kekeringan. Flora khasnya termasuk berbagai jenis rumput, akasia, dan tanaman sukulen. Fauna yang beradaptasi dengan kondisi kering termasuk mamalia seperti gazel dorcas, rubah fennec, dan berbagai jenis hewan pengerat gurun, serta reptil seperti ular derik dan kadal.
- Hutan kering akasia-argania Mediterania dan semak sukulen: Kawasan ekologi ini ditemukan di area yang lebih tinggi dan lebih lembap di bagian utara, berbatasan dengan Maroko. Pohon argan (Argania spinosa) yang endemik dan bernilai ekonomi adalah ciri khasnya, bersama dengan berbagai jenis akasia dan semak Mediterania. Kawasan ini mendukung keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan wilayah gurun lainnya.
- Gurun pesisir Atlantik: Membentang di sepanjang garis pantai Atlantik, kawasan ekologi ini dipengaruhi oleh kabut laut yang memberikan kelembapan. Vegetasinya terdiri dari tanaman sukulen yang tahan garam dan semak kerdil. Pantai dan perairan lepas pantai merupakan habitat penting bagi burung laut dan mamalia laut, termasuk anjing laut biarawan Mediterania yang terancam punah.
- Halofita Sahara: Kawasan ekologi ini terdapat di depresi garam dan dataran garam (sabkha) di pedalaman. Vegetasinya didominasi oleh halofita, yaitu tanaman yang mampu tumbuh di tanah dengan kadar garam tinggi. Kawasan ini memiliki flora dan fauna yang sangat terspesialisasi dan unik.
Keanekaragaman hayati di Sahara Barat secara umum terbatas karena kondisi iklim yang ekstrem, namun wilayah ini tetap menjadi rumah bagi sejumlah spesies yang telah beradaptasi secara khusus dengan lingkungan gurun. Upaya konservasi menjadi tantangan mengingat status politik wilayah yang belum terselesaikan dan tekanan dari aktivitas manusia seperti penggembalaan berlebihan dan potensi eksploitasi sumber daya alam.
4. Politik
Status politik Sahara Barat sangat kompleks dan menjadi subjek sengketa internasional yang telah berlangsung lama. Wilayah ini secara resmi dianggap oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri (non-self-governing territory). Sengketa utama adalah antara Kerajaan Maroko, yang mengklaim kedaulatan atas seluruh wilayah dan secara de facto menguasai sekitar dua pertiga bagian barat, dan Front Polisario, yang memperjuangkan kemerdekaan Sahara Barat dan telah mendeklarasikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), yang menguasai sisa wilayah di bagian timur yang dikenal sebagai Zona Bebas serta memiliki pemerintahan dalam pengasingan di Tindouf, Aljazair. Isu-isu politik utama berkisar pada hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi, penyelenggaraan referendum yang tertunda, status hukum wilayah, eksploitasi sumber daya alam, dan situasi hak asasi manusia.
4.1. Status hukum dan kontroversi kedaulatan

Menurut hukum internasional, Sahara Barat adalah salah satu dari sedikit wilayah di dunia yang status dekolonisasinya belum selesai. Mahkamah Internasional (ICJ) dalam pendapat penasihatnya pada tahun 1975 menyatakan bahwa meskipun ada hubungan historis antara Sahara Barat dengan Maroko dan Mauritania, hubungan tersebut tidak cukup untuk membentuk ikatan kedaulatan teritorial pada saat penjajahan Spanyol. ICJ juga menegaskan bahwa rakyat Sahrawi memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. PBB secara konsisten mengakui hak ini dan menyerukan solusi politik yang dapat diterima bersama yang akan memungkinkan rakyat Sahrawi untuk menentukan masa depan mereka.
Maroko mendasarkan klaim kedaulatannya atas Sahara Barat pada argumen historis, menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian integral dari kerajaan Maroko sebelum penjajahan Eropa. Maroko menganggap kehadirannya di Sahara Barat sebagai pemulihan integritas teritorialnya. Sejak pengambilalihan wilayah tersebut pada tahun 1975 setelah Persetujuan Madrid dengan Spanyol dan Mauritania (yang kemudian menarik diri), Maroko telah melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur dan administrasi di wilayah yang dikuasainya, yang disebut sebagai Provinsi Selatan.
Di sisi lain, Front Polisario dan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) yang diproklamasikannya mengklaim mewakili aspirasi rakyat Sahrawi untuk kemerdekaan penuh. RDAS diakui oleh sejumlah negara dan merupakan anggota penuh Uni Afrika (UA), di mana Maroko juga menjadi anggota sejak 2017 setelah sebelumnya keluar sebagai protes atas keanggotaan RDAS. Argumen RDAS didasarkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip dekolonisasi PBB dan resolusi-resolusi terkait. Kontroversi kedaulatan ini telah menyebabkan kebuntuan politik selama beberapa dekade, dengan upaya mediasi PBB yang belum berhasil mencapai solusi permanen.
4.2. Pemerintahan di wilayah yang dikuasai Maroko
Wilayah Sahara Barat yang dikuasai oleh Maroko, yang mencakup sekitar 80% dari total luas daratan dan sebagian besar populasi serta sumber daya alam, diintegrasikan ke dalam sistem administrasi nasional Maroko sebagai Provinsi Selatan. Pemerintah Maroko telah menerapkan kebijakan pembangunan yang signifikan di wilayah ini, termasuk investasi dalam infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, sekolah, dan rumah sakit. Subsidi besar diberikan untuk bahan bakar dan barang-barang kebutuhan pokok guna mendorong pembangunan ekonomi dan menarik pemukim dari wilayah Maroko lainnya, sebuah kebijakan yang dikritik oleh Front Polisario sebagai upaya untuk mengubah demografi wilayah demi referendum di masa depan.
Secara administratif, wilayah ini dibagi menjadi beberapa region dan provinsi yang diperlakukan sebagai bagian integral dari kerajaan. Pemilihan umum lokal dan nasional Maroko juga diselenggarakan di wilayah ini, meskipun partisipasi dan legitimasinya dipertanyakan oleh kelompok pro-kemerdekaan Sahrawi dan sebagian komunitas internasional.
Meskipun ada upaya pembangunan, laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menyoroti adanya kontrol sosial yang ketat dan pembatasan terhadap hak-hak sipil dan politik penduduk lokal Sahrawi yang mendukung kemerdekaan atau mengkritik kebijakan Maroko. Kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat dilaporkan sangat dibatasi, terutama bagi aktivis hak asasi manusia dan pendukung penentuan nasib sendiri. Ada juga tuduhan mengenai penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Maroko dalam menghadapi demonstrasi damai dan penahanan sewenang-wenang terhadap aktivis Sahrawi. Pemerintah Maroko umumnya membantah tuduhan ini dan menyatakan komitmennya terhadap pembangunan dan hak asasi manusia di wilayah tersebut.
4.3. Pemerintahan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS)
Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), yang diproklamasikan oleh Front Polisario pada tahun 1976, mengklaim kedaulatan atas seluruh wilayah Sahara Barat. Secara de facto, RDAS menguasai sekitar 20% wilayah Sahara Barat, terutama di bagian timur Tembok Pasir Maroko. Wilayah ini dikenal sebagai Zona Bebas (juga disebut Wilayah yang Dibebaskan). Zona Bebas sebagian besar adalah gurun yang jarang penduduknya, diperkirakan dihuni oleh sekitar 30.000 orang nomaden. Kota-kota kecil seperti Tifariti dan Bir Lehlou berfungsi sebagai pusat administratif sementara RDAS di dalam Zona Bebas.
Struktur pemerintahan RDAS sebagian besar beroperasi dari pengasingan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di dekat Tindouf, Aljazair. Kamp-kamp ini telah menampung puluhan ribu pengungsi Sahrawi sejak konflik dimulai pada tahun 1975. Di kamp-kamp ini, Front Polisario telah membangun struktur administrasi dan pemerintahan yang mencakup berbagai kementerian, dewan nasional (parlemen), sistem peradilan, dan layanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan, meskipun dengan sumber daya yang sangat terbatas dan sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan internasional.
RDAS memiliki konstitusi yang menggariskan sistem parlementer dan presidensial bentuk partai tunggal, dengan janji akan transisi ke sistem multi-partai setelah kemerdekaan penuh tercapai. Presiden RDAS saat ini adalah Brahim Ghali, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Front Polisario. RDAS telah berusaha membangun institusi demokratis dan memberikan pelayanan kepada para pengungsi, termasuk mempromosikan pendidikan dan partisipasi perempuan dalam politik dan kehidupan sosial. Meskipun menghadapi tantangan besar akibat kondisi pengungsian yang berkepanjangan dan keterbatasan sumber daya, upaya RDAS dalam membangun struktur pemerintahan dan menyediakan layanan bagi rakyatnya di pengasingan diakui oleh para pendukungnya sebagai wujud nyata dari aspirasi kemerdekaan Sahrawi.
4.4. Situasi hak asasi manusia


Konflik Sahara Barat telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang parah, yang terus dilaporkan oleh berbagai organisasi hak asasi manusia internasional, wartawan eksternal, dan aktivis. Pelanggaran ini mencakup berbagai aspek dan terjadi baik di wilayah yang dikuasai Maroko maupun di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair, meskipun skala dan jenis pelanggaran seringkali berbeda.
Di wilayah Sahara Barat yang dikuasai Maroko, organisasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch secara konsisten melaporkan pembatasan terhadap hak kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat, terutama bagi individu dan kelompok yang mendukung kemerdekaan Sahrawi atau mengkritik kebijakan Maroko. Aktivis Sahrawi dan jurnalis independen sering menghadapi intimidasi, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, dan persidangan yang dianggap tidak adil. Ada banyak laporan mengenai penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Maroko dalam membubarkan demonstrasi damai, serta tuduhan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap para tahanan, terutama mereka yang dituduh mengancam keamanan negara atau integritas teritorial Maroko. Penghilangan paksa juga menjadi isu serius yang telah didokumentasikan, terutama pada masa-masa awal konflik.
Pemerintah Maroko umumnya membantah tuduhan pelanggaran sistematis dan mengklaim bahwa sistem peradilannya independen dan menghormati hak asasi manusia. Maroko juga telah mengambil beberapa langkah, seperti pembentukan Dewan Nasional Hak Asasi Manusia (CNDH) yang memiliki cabang di Laayoune dan Dakhla, untuk menangani keluhan hak asasi manusia, meskipun efektivitas dan independensinya dipertanyakan oleh beberapa pengamat.
Di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair, yang dikelola oleh Front Polisario, isu hak asasi manusia juga menjadi perhatian. Kondisi kehidupan yang keras dan berkepanjangan di kamp-kamp tersebut, ketergantungan pada bantuan kemanusiaan, dan terbatasnya kebebasan bergerak merupakan masalah struktural. Beberapa laporan dan kesaksian dari mantan anggota Polisario yang membelot ke Maroko menuduh adanya pelanggaran hak asasi manusia di kamp-kamp tersebut, termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, penahanan sewenang-wenang, dan dugaan penyiksaan terhadap mereka yang menentang kepemimpinan Polisario. Front Polisario umumnya menolak tuduhan ini dan mengklaim bahwa mereka berkomitmen pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam kondisi sulit pengasingan dan konflik. Aljazair, sebagai negara tuan rumah kamp-kamp tersebut, juga dianggap memiliki tanggung jawab untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia di wilayahnya.
Masalah pengungsi Sahrawi yang telah tinggal di kamp-kamp selama lebih dari empat dekade merupakan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Mereka menghadapi kondisi hidup yang sulit, keterbatasan akses terhadap pekerjaan, pendidikan tinggi, dan layanan kesehatan yang memadai. Hak-hak minoritas dan kelompok rentan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, juga memerlukan perhatian khusus dalam konteks konflik ini.
Masyarakat internasional, termasuk PBB dan berbagai organisasi non-pemerintah, terus menyerukan penyelidikan independen terhadap semua tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh semua pihak, pembebasan tahanan politik, dan perlindungan hak-hak dasar semua penduduk di Sahara Barat dan para pengungsi Sahrawi. Kurangnya mekanisme pemantauan hak asasi manusia yang permanen dan independen di Sahara Barat oleh PBB (misalnya, dengan memperluas mandat MINURSO untuk mencakup pemantauan hak asasi manusia) tetap menjadi isu kontroversial dan keprihatinan bagi banyak aktivis dan organisasi hak asasi manusia.
5. Pembagian administratif
Pembagian administratif Sahara Barat mencerminkan sengketa kedaulatan atas wilayah tersebut. Baik Maroko, yang menguasai sebagian besar wilayah, maupun Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), yang mengklaim seluruh wilayah dan menguasai sebagian kecil, memiliki sistem pembagian administratif sendiri.
5.1. Pembagian administratif Maroko
Maroko mengintegrasikan wilayah Sahara Barat yang dikuasainya ke dalam sistem administrasi nasionalnya sebagai Provinsi Selatan. Wilayah ini dibagi menjadi tiga region administratif, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi provinsi atau prefektur. Hingga pembaruan terakhir, region-region tersebut adalah:
- Region Guelmim-Oued Noun: Sebagian kecil dari region ini, yaitu Provinsi Assa-Zag, mencakup wilayah yang diklaim Maroko sebagai bagian dari Sahara Barat.
- Region Laâyoune-Sakia El Hamra: Region ini sebagian besar berada di dalam wilayah Sahara Barat dan mencakup kota Laayoune (ibu kota administratif Maroko di wilayah tersebut). Provinsi-provinsi di bawahnya yang berada di Sahara Barat meliputi Provinsi Boujdour, Provinsi Es Semara, Provinsi Laâyoune, dan Provinsi Tarfaya (sebagian).
- Region Dakhla-Oued Ed-Dahab: Region ini sepenuhnya berada di dalam wilayah Sahara Barat dan mencakup kota Dakhla. Provinsi-provinsi di bawahnya adalah Provinsi Aousserd dan Provinsi Oued Eddahab.
Setiap region dipimpin oleh seorang Wali yang ditunjuk oleh Raja Maroko, dan setiap provinsi atau prefektur dipimpin oleh seorang Gubernur. Pemilihan umum lokal diadakan untuk memilih dewan regional dan komunal, namun legitimasinya dipersoalkan oleh Front Polisario.
5.2. Pembagian administratif Republik Demokratik Arab Sahrawi

Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) memiliki struktur pembagian administratif sendiri untuk seluruh wilayah Sahara Barat yang diklaimnya, meskipun secara de facto hanya diterapkan di Zona Bebas (wilayah di sebelah timur Tembok Maroko) dan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair.
Menurut konstitusi RDAS, wilayah nasional dibagi menjadi unit-unit administratif yang disebut wilayah (mirip provinsi) dan daira (mirip distrik). Dalam praktiknya, terutama di kamp-kamp pengungsi, pembagian administratif lebih sering merujuk pada empat wilayah utama yang dinamai berdasarkan kota-kota penting di Sahara Barat:
- Wilayah Laayoune
- Wilayah Smara
- Wilayah Aousserd
- Wilayah Dakhla
Setiap wilayah di kamp pengungsi dibagi lagi menjadi beberapa daira. Zona Bebas di Sahara Barat juga dibagi secara militer dan administratif oleh RDAS, dengan Tifariti dan Bir Lehlou berfungsi sebagai pusat administratif sementara. Laayoune dianggap sebagai ibu kota nominal atau konstitusional RDAS, meskipun saat ini dikuasai oleh Maroko. Administrasi di kamp-kamp dan Zona Bebas dikelola oleh perwakilan Front Polisario dan otoritas RDAS.
6. Status konflik
Konflik Sahara Barat adalah salah satu sengketa dekolonisasi terlama yang belum terselesaikan di dunia. Konflik ini berpusat pada klaim kedaulatan yang saling bertentangan antara Kerajaan Maroko dan Front Polisario, yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat Sahrawi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah terlibat aktif dalam upaya penyelesaian sejak tahun 1970-an, namun berbagai perundingan damai dan rencana penyelesaian belum berhasil mencapai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Konflik ini juga telah menimbulkan masalah kemanusiaan yang signifikan, terutama bagi para pengungsi Sahrawi.
6.1. Latar belakang dan perkembangan konflik
Konflik Sahara Barat berakar pada proses dekolonisasi wilayah tersebut dari Spanyol pada pertengahan tahun 1970-an. Setelah Spanyol mengumumkan niatnya untuk menarik diri, Maroko dan Mauritania mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut berdasarkan ikatan historis. Pada saat yang sama, Front Polisario, yang dibentuk pada tahun 1973, melancarkan perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan penuh Sahara Barat.
Pada tahun 1975, Mahkamah Internasional mengeluarkan pendapat penasihat yang menyatakan bahwa meskipun ada ikatan historis, hal itu tidak meniadakan hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri. Namun, setelah Barisan Hijau yang diorganisir Maroko, Spanyol menandatangani Persetujuan Madrid yang membagi administrasi wilayah antara Maroko dan Mauritania. Front Polisario menolak perjanjian ini dan memproklamasikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) pada tahun 1976, yang memicu Perang Sahara Barat.
Mauritania menarik diri dari konflik pada tahun 1979 setelah mengalami kekalahan militer dari Polisario, dan Maroko kemudian menduduki bagian selatan wilayah yang ditinggalkan Mauritania. Selama tahun 1980-an, Maroko membangun serangkaian tembok pertahanan pasir (dikenal sebagai Berm) yang membagi wilayah tersebut. Tembok ini secara efektif memisahkan wilayah yang dikuasai Maroko (sekitar 80% wilayah, termasuk sebagian besar kota dan sumber daya alam) dari wilayah yang dikuasai Polisario (sekitar 20% wilayah di timur tembok, yang disebut Zona Bebas).
Perang berlanjut hingga tahun 1991 ketika gencatan senjata yang dimediasi PBB mulai berlaku. Meskipun gencatan senjata sebagian besar dihormati selama hampir tiga dekade, bentrokan sporadis dan ketegangan terus terjadi. Pada November 2020, gencatan senjata runtuh setelah Maroko melancarkan operasi militer di zona penyangga Guerguerat, yang menyebabkan Front Polisario mengumumkan kembalinya perang.
Dampak konflik terhadap penduduk sipil sangat besar. Puluhan ribu orang Sahrawi mengungsi ke negara tetangga Aljazair, di mana mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi di Provinsi Tindouf dalam kondisi yang sulit. Hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri tetap menjadi inti dari konflik ini, dengan PBB berulang kali menegaskan hak tersebut namun gagal memfasilitasi proses yang dapat mengarah pada pelaksanaannya.
6.2. Peran PBB dan kegiatan penjagaan perdamaian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memainkan peran sentral dalam upaya penyelesaian konflik Sahara Barat sejak awal. Pada tahun 1991, setelah tercapainya gencatan senjata antara Maroko dan Front Polisario, Dewan Keamanan PBB membentuk Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO) melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 690.
Mandat utama MINURSO pada awalnya adalah:
1. Mengawasi gencatan senjata antara pasukan Maroko dan Front Polisario.
2. Menyelenggarakan referendum bebas dan adil yang akan memungkinkan rakyat Sahara Barat untuk memilih antara kemerdekaan atau integrasi dengan Maroko.
Untuk melaksanakan mandat referendum, MINURSO bertugas mengidentifikasi dan mendaftarkan pemilih yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria yang disepakati, yaitu mereka yang tercatat dalam sensus Spanyol tahun 1974 dan keturunan langsung mereka. Namun, proses identifikasi pemilih ini terbukti sangat rumit dan kontroversial, dengan kedua belah pihak tidak setuju mengenai kelayakan banyak pelamar. Akibatnya, referendum yang dijadwalkan berulang kali ditunda dan hingga kini belum terlaksana.
Meskipun mandat referendumnya belum terpenuhi, MINURSO terus beroperasi di Sahara Barat dengan fokus utama pada pengawasan gencatan senjata. Pasukan penjaga perdamaian PBB, yang terdiri dari pengamat militer dan personel sipil, ditempatkan di berbagai lokasi di seluruh wilayah, baik di bagian yang dikuasai Maroko maupun di Zona Bebas yang dikuasai Polisario. Kegiatan operasional MINURSO meliputi patroli darat dan udara untuk memantau kepatuhan terhadap perjanjian gencatan senjata, menyelidiki dugaan pelanggaran, dan bekerja untuk mengurangi ketegangan antara kedua belah pihak. MINURSO juga terlibat dalam kegiatan pembersihan ranjau darat dan mendukung program pertukaran kunjungan keluarga antara pengungsi Sahrawi di Tindouf dan kerabat mereka di wilayah yang dikuasai Maroko.
MINURSO menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan dalam upayanya. Kurangnya kemajuan politik menuju solusi yang langgeng, pembatasan pergerakan yang kadang-kadang diberlakukan oleh kedua belah pihak terhadap personel MINURSO, dan kondisi lingkungan yang keras di gurun adalah beberapa di antaranya. Selain itu, mandat MINURSO tidak secara eksplisit mencakup pemantauan hak asasi manusia, yang menjadi sumber kritik dari banyak organisasi hak asasi manusia yang menyerukan perluasan mandat tersebut. Meskipun demikian, kehadiran MINURSO dianggap penting untuk menjaga stabilitas relatif di wilayah tersebut dan mencegah eskalasi konflik bersenjata skala besar, meskipun gencatan senjata tahun 1991 runtuh pada tahun 2020.
6.3. Proses perundingan damai dan proposal utama

Upaya perundingan damai untuk menyelesaikan konflik Sahara Barat telah melalui berbagai tahap dan melibatkan berbagai aktor, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai mediator utama. Proses ini ditandai dengan periode kemajuan yang terbatas dan kebuntuan yang berkepanjangan.
Setelah gencatan senjata tahun 1991, fokus utama adalah pada implementasi Rencana Penyelesaian PBB, yang mencakup referendum penentuan nasib sendiri. Namun, perselisihan mengenai identifikasi pemilih menghambat proses ini. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, James Baker, Utusan Pribadi Sekretaris Jenderal PBB, mengajukan dua proposal utama:
1. **Rencana Baker I (2000)**: Mengusulkan otonomi substansial bagi Sahara Barat di bawah kedaulatan Maroko selama periode transisi lima tahun, diikuti oleh referendum yang akan mencakup opsi kemerdekaan, otonomi, atau integrasi. Pemilih akan mencakup penduduk yang teridentifikasi oleh MINURSO dan pengungsi, serta penduduk yang tinggal di wilayah tersebut selama periode tertentu. Rencana ini ditolak oleh Front Polisario karena dianggap terlalu menguntungkan Maroko dan tidak cukup menjamin referendum yang adil.
2. **Rencana Baker II (2003)**: Juga dikenal sebagai Rencana Perdamaian untuk Penentuan Nasib Sendiri Rakyat Sahara Barat. Rencana ini mengusulkan periode otonomi di bawah Otoritas Sahara Barat, diikuti oleh referendum dalam waktu empat hingga lima tahun dengan tiga pilihan: kemerdekaan, integrasi dengan Maroko, atau kelanjutan otonomi. Berbeda dengan Baker I, rencana ini diterima sebagai dasar negosiasi oleh Front Polisario dan didukung oleh Dewan Keamanan PBB. Namun, Maroko menolak Baker II karena khawatir opsi kemerdekaan akan mengarah pada pemisahan wilayah. James Baker mengundurkan diri pada tahun 2004 setelah kegagalan ini.
Setelah kegagalan Rencana Baker, PBB memfasilitasi serangkaian perundingan informal langsung antara Maroko dan Front Polisario, yang dikenal sebagai **Perundingan Manhasset** (dinamai sesuai lokasi pertemuan di Manhasset, New York). Beberapa putaran perundingan diadakan antara tahun 2007 dan 2008, dan kemudian dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak menghasilkan terobosan signifikan.
Dalam perundingan ini, Maroko secara resmi mengajukan **proposal otonomi** pada tahun 2007, yang menawarkan otonomi luas bagi Sahara Barat di bawah kedaulatan Maroko. Proposal ini mencakup pembentukan parlemen dan pemerintahan lokal dengan wewenang atas sebagian besar urusan internal, sementara Maroko akan tetap bertanggung jawab atas pertahanan, urusan luar negeri, dan mata uang. Maroko menganggap proposal ini sebagai solusi kompromi yang realistis.
Front Polisario, di sisi lain, menolak proposal otonomi Maroko karena tidak mencakup opsi kemerdekaan penuh melalui referendum penentuan nasib sendiri. Mereka bersikeras pada hak rakyat Sahrawi untuk memilih masa depan mereka secara bebas, sesuai dengan resolusi PBB dan hukum internasional.
Posisi pihak-pihak terkait tetap berjauhan. Maroko bersikeras bahwa kedaulatannya atas Sahara Barat tidak dapat dinegosiasikan dan otonomi adalah batas maksimal yang dapat ditawarkan. Front Polisario, didukung oleh Aljazair, menuntut referendum yang mencakup kemerdekaan sebagai salah satu pilihan. Negara-negara kunci seperti Prancis dan Amerika Serikat (terutama setelah pengakuan kedaulatan Maroko oleh AS pada tahun 2020) cenderung lebih mendukung posisi Maroko atau proposal otonominya, sementara negara-negara lain dan organisasi seperti Uni Afrika lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri. Kebuntuan ini terus menghambat penyelesaian konflik secara damai dan adil.
6.4. Masalah kemanusiaan
Konflik Sahara Barat telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendalam dan berkepanjangan, dengan dampak yang paling parah dirasakan oleh rakyat Sahrawi. Aspek-aspek utama dari masalah kemanusiaan ini meliputi:
1. **Pengungsi Sahrawi**: Sejak konflik dimulai pada tahun 1975, puluhan ribu (perkiraan bervariasi antara 90.000 hingga lebih dari 165.000) pengungsi Sahrawi telah tinggal di kamp-kamp pengungsi di wilayah Tindouf, Aljazair. Kamp-kamp ini, seperti Smara, Awserd, Laayoune, dan Dakhla (dinamai sesuai kota-kota di Sahara Barat), terletak di lingkungan gurun yang keras dengan kondisi iklim ekstrem. Para pengungsi sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan internasional untuk kebutuhan dasar seperti makanan, air, tempat tinggal, dan layanan kesehatan. Bantuan ini dikoordinasikan oleh badan-badan PBB seperti Program Pangan Dunia (WFP) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), serta berbagai organisasi non-pemerintah (LSM). Kondisi kehidupan di kamp-kamp sulit, dengan terbatasnya akses terhadap pendidikan berkualitas, pekerjaan, dan peluang ekonomi. Generasi muda Sahrawi lahir dan besar di pengasingan, tanpa pernah melihat tanah air leluhur mereka. Situasi ini telah berlangsung selama lebih dari empat dekade, menciptakan salah satu krisis pengungsi terlama di dunia.
2. **Penduduk di Wilayah Sengketa**: Penduduk Sahrawi yang tinggal di wilayah Sahara Barat yang dikuasai Maroko juga menghadapi berbagai kesulitan. Laporan dari organisasi hak asasi manusia menyoroti pembatasan terhadap kebebasan sipil dan politik, terutama bagi mereka yang mendukung kemerdekaan atau mengkritik kebijakan Maroko. Ada juga dampak psikologis dan sosial dari konflik yang belum terselesaikan dan kehadiran militer yang besar.
3. **Bahaya Ranjau Darat**: Wilayah Sahara Barat, terutama di sekitar Tembok Pasir Maroko (Berm) dan di Zona Bebas, terkontaminasi parah oleh ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang (ERW). Ranjau ini ditanam oleh kedua belah pihak selama konflik bersenjata dan terus menjadi ancaman mematikan bagi penduduk lokal, penggembala nomaden, personel MINURSO, dan pekerja kemanusiaan. Banyak warga sipil, termasuk anak-anak, telah menjadi korban, menderita kematian atau cacat seumur hidup. Upaya pembersihan ranjau dilakukan oleh MINURSO dan organisasi khusus, tetapi skala kontaminasi sangat luas dan prosesnya lambat serta berbahaya.
4. **Pemisahan Keluarga**: Konflik dan pembagian wilayah oleh Tembok Maroko telah menyebabkan pemisahan keluarga Sahrawi selama beberapa dekade. Banyak keluarga memiliki anggota yang tinggal di wilayah yang dikuasai Maroko dan anggota lain yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Aljazair, dengan kontak dan kunjungan yang sangat terbatas. Program kunjungan keluarga yang difasilitasi oleh UNHCR dan MINURSO telah memberikan kesempatan bagi beberapa keluarga untuk bertemu, tetapi program ini memiliki kapasitas terbatas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan semua keluarga yang terpisah.
5. **Akses terhadap Bantuan Kemanusiaan dan Pembangunan**: Penyediaan bantuan kemanusiaan yang memadai dan berkelanjutan ke kamp-kamp pengungsi tetap menjadi tantangan, terutama dengan menurunnya perhatian internasional dan pendanaan dari negara-negara donor. Di wilayah yang dikuasai Maroko, akses bagi organisasi kemanusiaan independen dan pemantau hak asasi manusia kadang-kadang dibatasi.
Penyelesaian politik yang adil dan langgeng atas konflik Sahara Barat sangat penting untuk mengatasi akar penyebab krisis kemanusiaan ini dan memungkinkan rakyat Sahrawi untuk menentukan masa depan mereka sendiri serta memulihkan hak-hak dasar mereka.
7. Ekonomi
Struktur ekonomi Sahara Barat sangat dipengaruhi oleh status politiknya yang disengketakan dan kondisi geografisnya yang didominasi gurun. Wilayah ini memiliki sumber daya alam tertentu, terutama fosfat dan perikanan, namun eksploitasinya menjadi subjek kontroversi internasional. Tantangan ekonomi utama termasuk ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, kurangnya diversifikasi, dan dampak dari konflik yang belum terselesaikan.
7.1. Industri utama dan sumber daya alam
Industri utama dan sumber daya alam yang signifikan di Sahara Barat meliputi:
1. **Penambangan Fosfat**: Sahara Barat memiliki salah satu cadangan fosfat terbesar di dunia, terutama di tambang Bou Craa. Fosfat adalah komponen kunci dalam produksi pupuk. Tambang Bou Craa telah dieksploitasi sejak era kolonial Spanyol dan saat ini dioperasikan oleh perusahaan milik negara Maroko, OCP Group (Office Chérifien des Phosphates). Fosfat yang ditambang diangkut melalui ban berjalan terpanjang di dunia (sekitar 100 km) ke pelabuhan di dekat Laayoune untuk diekspor. Pendapatan dari ekspor fosfat merupakan sumber devisa yang penting bagi Maroko.
2. **Perikanan**: Pesisir Atlantik Sahara Barat memiliki perairan yang kaya akan ikan dan merupakan salah satu zona penangkapan ikan paling produktif di dunia. Sektor perikanan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk lokal dan menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan. Perjanjian perikanan antara Maroko dan Uni Eropa, yang mencakup perairan Sahara Barat, telah menjadi sumber kontroversi hukum dan politik. Kota-kota pesisir seperti Dakhla dan Laayoune adalah pusat industri perikanan.
3. **Potensi Minyak Bumi dan Gas Alam**: Ada spekulasi mengenai keberadaan cadangan minyak bumi dan gas alam di lepas pantai (offshore) Sahara Barat. Beberapa perusahaan internasional telah melakukan kegiatan eksplorasi di bawah lisensi yang dikeluarkan oleh Maroko maupun oleh Front Polisario. Namun, hingga saat ini, belum ada penemuan komersial yang signifikan, dan legalitas eksplorasi serta eksploitasi di wilayah sengketa ini sangat dipertanyakan menurut hukum internasional.
4. **Pertanian dan Peternakan**: Karena kondisi gurun yang kering, pertanian sangat terbatas dan umumnya hanya dilakukan di beberapa oase kecil di mana air tersedia, menghasilkan kurma dan sayuran untuk konsumsi lokal. Peternakan unta, kambing, dan domba secara nomaden atau semi-nomaden masih dipraktikkan oleh sebagian penduduk Sahrawi, terutama di wilayah pedalaman dan Zona Bebas, meskipun semakin terancam oleh perubahan iklim dan ranjau darat.
5. **Pariwisata**: Sektor pariwisata mulai berkembang, terutama di kota-kota seperti Dakhla yang terkenal dengan selancar layang dan olahraga air lainnya. Namun, perkembangannya masih terbatas dan dipengaruhi oleh status politik wilayah tersebut.
6. **Energi Terbarukan**: Maroko telah berinvestasi dalam proyek-proyek energi terbarukan, termasuk ladang angin dan tenaga surya, di Sahara Barat sebagai bagian dari strategi energi nasionalnya. Proyek-proyek ini juga menuai kritik karena dibangun di wilayah sengketa tanpa persetujuan rakyat Sahrawi.
Ekonomi di wilayah yang dikuasai Maroko sangat didominasi oleh negara, dengan subsidi besar untuk bahan bakar dan barang-barang kebutuhan pokok guna mendorong pembangunan dan menarik pemukim. Kegiatan perdagangan dan ekonomi lainnya sebagian besar dikendalikan oleh pemerintah Maroko.
7.2. Kontroversi seputar eksploitasi sumber daya alam
Eksploitasi sumber daya alam di Sahara Barat oleh Maroko menjadi salah satu aspek paling kontroversial dari konflik ini, memicu perdebatan hukum, etika, dan politik di tingkat internasional. Kritik utama berpusat pada legalitas tindakan tersebut di bawah hukum internasional dan dampaknya terhadap hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola sumber daya alam mereka.
1. **Legalitas Menurut Hukum Internasional**: PBB menganggap Sahara Barat sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri. Menurut hukum internasional, kekuatan pengelola (administering power) suatu wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri memiliki kewajiban untuk bertindak demi kepentingan penduduk wilayah tersebut dan tidak boleh mengeksploitasi sumber daya alamnya dengan cara yang merugikan kepentingan mereka atau menghambat hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Pendapat hukum dari PBB (khususnya dari Hans Corell, Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Hukum, pada tahun 2002) menyatakan bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Sahara Barat hanya sah jika dilakukan sesuai dengan keinginan dan demi kepentingan rakyat Sahrawi. Banyak pihak berpendapat bahwa eksploitasi yang dilakukan Maroko saat ini tidak memenuhi kriteria tersebut, karena rakyat Sahrawi belum dapat secara bebas mengekspresikan keinginan mereka melalui referendum.
2. **Hak Rakyat Sahrawi atas Sumber Daya Alam**: Front Polisario dan para pendukungnya berpendapat bahwa rakyat Sahrawi adalah pemilik sah sumber daya alam di wilayah mereka. Mereka menuduh Maroko melakukan "penjarahan" sumber daya alam Sahara Barat (terutama fosfat, hasil laut, dan potensi minyak serta gas) untuk keuntungan sendiri, tanpa persetujuan atau manfaat yang adil bagi rakyat Sahrawi.
3. **Distribusi Keuntungan**: Meskipun Maroko mengklaim bahwa pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam diinvestasikan kembali untuk pembangunan di "Provinsi Selatan" dan memberikan manfaat bagi seluruh penduduk, termasuk Sahrawi, banyak pihak meragukan klaim ini. Mereka berpendapat bahwa sebagian besar keuntungan mengalir ke pemerintah pusat Maroko atau perusahaan-perusahaan yang terkait dengannya, dan bahwa pembangunan yang dilakukan lebih bertujuan untuk mengkonsolidasikan kontrol Maroko daripada benar-benar memberdayakan rakyat Sahrawi.
4. **Dampak Lingkungan**: Beberapa proyek eksploitasi sumber daya alam, seperti penambangan fosfat dan perikanan skala industri, juga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak lingkungan, termasuk polusi air, penangkapan ikan berlebihan, dan kerusakan ekosistem pesisir.
5. **Hak-Hak Tenaga Kerja**: Ada juga laporan mengenai kondisi kerja dan hak-hak tenaga kerja di industri-industri yang mengeksploitasi sumber daya alam Sahara Barat, meskipun informasi ini seringkali sulit diverifikasi secara independen.
6. **Implikasi terhadap Penyelesaian Konflik**: Banyak pengamat berpendapat bahwa eksploitasi sumber daya alam oleh Maroko memperumit upaya penyelesaian konflik, karena memberikan insentif ekonomi bagi Maroko untuk mempertahankan status quo dan menolak solusi yang mungkin mengarah pada kemerdekaan Sahrawi.
Akibat kontroversi ini, beberapa perusahaan internasional telah menarik diri dari kegiatan di Sahara Barat setelah mendapat tekanan dari kelompok aktivis dan investor etis. Uni Eropa juga menghadapi tantangan hukum terkait perjanjian perdagangan dan perikanannya dengan Maroko yang mencakup Sahara Barat, dengan pengadilan Uni Eropa beberapa kali memutuskan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat diterapkan di Sahara Barat tanpa persetujuan eksplisit dari rakyat Sahrawi. Debat mengenai eksploitasi sumber daya alam ini terus menjadi isu sentral dalam perjuangan untuk hak penentuan nasib sendiri dan keadilan sosial di Sahara Barat.
8. Demografi
Demografi Sahara Barat sangat dipengaruhi oleh sejarah konflik, migrasi, dan kondisi geografis wilayah tersebut. Perkiraan populasi bervariasi, tetapi umumnya berkisar antara 500.000 hingga lebih dari 600.000 jiwa. Sebagian besar populasi tinggal di wilayah yang dikuasai Maroko, terutama di kota-kota seperti Laayoune, Dakhla, dan Smara. Wilayah yang dikuasai Front Polisario (Zona Bebas) memiliki populasi yang jauh lebih kecil, sebagian besar terdiri dari nomaden. Selain itu, puluhan ribu pengungsi Sahrawi tinggal di kamp-kamp di Provinsi Tindouf, Aljazair.
8.1. Komposisi etnis dan orang Sahrawi
Penduduk asli utama Sahara Barat adalah orang Sahrawi. Mereka adalah kelompok etnis yang berbicara dialek Hassaniya dari bahasa Arab dan memiliki warisan campuran Arab-Berber. Secara tradisional, masyarakat Sahrawi adalah nomaden atau semi-nomaden, dengan struktur sosial yang berpusat pada sistem suku dan kekerabatan. Mereka mengklaim keturunan dari Bani Hassan, suku Arab yang bermigrasi ke wilayah tersebut pada abad ke-11 dan bercampur dengan populasi Berber Sanhaja asli. Suku-suku utama Sahrawi termasuk Reguibat, Tekna, dan Oulad Delim.
Sejak Maroko mengambil alih sebagian besar wilayah pada tahun 1975, telah terjadi masuknya pemukim Maroko dalam jumlah yang signifikan. Pemerintah Maroko mendorong migrasi ini melalui berbagai insentif ekonomi dan sosial. Akibatnya, di wilayah yang dikuasai Maroko, pemukim Maroko kini diperkirakan melebihi jumlah penduduk asli Sahrawi. Komposisi etnis yang berubah ini menjadi salah satu isu paling sensitif dalam konflik, terutama terkait dengan penentuan daftar pemilih untuk referendum penentuan nasib sendiri yang tertunda. Front Polisario menuduh Maroko sengaja mengubah demografi wilayah untuk mempengaruhi hasil referendum.
Sensus penduduk era kolonial Spanyol tahun 1974 mencatat sekitar 74.000 orang Sahrawi di wilayah tersebut. Sensus ini, meskipun mungkin memiliki keterbatasan akurasi karena sulitnya menghitung populasi nomaden, disepakati oleh Maroko dan Front Polisario sebagai dasar awal untuk identifikasi pemilih dalam Rencana Penyelesaian PBB. Namun, perselisihan mengenai siapa saja keturunan dari mereka yang tercatat dalam sensus tersebut, serta status penduduk Sahrawi yang mungkin telah meninggalkan wilayah sebelum sensus atau yang menetap di Maroko selatan, menjadi salah satu hambatan utama dalam proses referendum.
Masalah penentuan daftar pemilih yang sah memiliki dampak langsung pada hak-hak demokratis penduduk asli Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri. Banyak orang Sahrawi merasa bahwa identitas dan hak-hak mereka terancam oleh perubahan demografi dan kebijakan asimilasi. Di sisi lain, Maroko berpendapat bahwa semua penduduk yang tinggal di wilayah tersebut, termasuk mereka yang datang dari Maroko, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam masa depan wilayah tersebut.
Selain orang Sahrawi dan pemukim Maroko, ada juga komunitas kecil Haratin (keturunan budak Afrika Sub-Sahara yang telah terintegrasi ke dalam masyarakat Moor dan Sahrawi) dan sejumlah kecil orang asing yang bekerja di sektor perikanan atau industri lainnya.
8.2. Bahasa
Bahasa utama yang digunakan di Sahara Barat mencerminkan sejarah dan komposisi etnis wilayah tersebut:
1. **Bahasa Arab Hassaniya**: Ini adalah bahasa ibu mayoritas orang Sahrawi dan juga dituturkan di Mauritania serta sebagian Mali dan Aljazair selatan. Hassaniya adalah dialek bahasa Arab Bedawi yang dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Berber dan beberapa bahasa Afrika Sub-Sahara. Ini adalah bahasa komunikasi sehari-hari, puisi, dan tradisi lisan Sahrawi.
2. **Bahasa Arab Maroko**: Seiring dengan meningkatnya jumlah pemukim Maroko, bahasa Arab Maroko (Darija) juga banyak digunakan, terutama di wilayah perkotaan yang dikuasai Maroko.
3. **Bahasa Spanyol**: Sebagai peninggalan masa kolonial, bahasa Spanyol masih dipahami dan digunakan oleh sebagian generasi tua Sahrawi, serta diajarkan sebagai bahasa asing. Pengaruh Spanyol juga terlihat dalam beberapa aspek budaya dan administrasi. Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) juga menggunakan bahasa Spanyol sebagai salah satu bahasa kerja.
4. **Bahasa-bahasa Berber**: Meskipun Hassaniya adalah bahasa dominan di antara orang Sahrawi, beberapa kelompok Sahrawi, terutama yang berasal dari suku Tekna di utara, mungkin masih menuturkan atau memahami bahasa-bahasa Berber (Tamazight), seperti dialek Tashelhit.
5. **Bahasa Prancis**: Bahasa Prancis, meskipun tidak sepenting di Maroko utara, juga memiliki sejumlah penutur, terutama di kalangan mereka yang terkait dengan administrasi Maroko atau pernah belajar di sistem pendidikan Prancis.
Di wilayah yang dikuasai Maroko, bahasa Arab Standar Modern dan bahasa Prancis adalah bahasa resmi administrasi dan pendidikan, sejalan dengan kebijakan di Maroko. Di kamp-kamp pengungsi Sahrawi dan di wilayah yang dikuasai RDAS, Hassaniya adalah bahasa utama, dengan bahasa Arab Standar Modern dan Spanyol digunakan dalam pendidikan dan urusan resmi. Pelestarian bahasa Hassaniya dan tradisi lisan Sahrawi menjadi fokus penting bagi identitas budaya Sahrawi, terutama dalam konteks konflik dan pengasingan.
8.3. Agama
Agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Sahara Barat, baik orang Sahrawi maupun pemukim Maroko, adalah Islam. Secara spesifik, mereka umumnya menganut aliran Sunni dengan mazhab (fikih) Maliki, yang merupakan mazhab dominan di sebagian besar Afrika Utara dan Afrika Barat.
Islam telah menjadi bagian integral dari identitas dan budaya Sahrawi selama berabad-abad, sejak penyebarannya di wilayah tersebut mulai abad ke-8. Praktik keagamaan sehari-hari meliputi salat lima waktu, puasa selama bulan Ramadan, pembayaran zakat, dan haji bagi mereka yang mampu. Masjid dan sekolah Al-Qur'an (madrasah) terdapat di kota-kota dan pemukiman yang lebih besar.
Dalam masyarakat Sahrawi tradisional, praktik Islam seringkali diadaptasi dengan gaya hidup nomaden. Meskipun demikian, prinsip-prinsip dasar Islam tetap dipegang teguh. Pengaruh Sufisme, dengan berbagai tariqah (tarekat) atau persaudaraan sufi, juga dapat ditemukan, meskipun mungkin tidak sekuat di beberapa bagian lain dunia Muslim. Penghormatan terhadap wali atau orang suci lokal juga merupakan bagian dari tradisi keagamaan di beberapa komunitas.
Tidak ada laporan mengenai keberadaan komunitas agama minoritas yang signifikan di Sahara Barat. Kehidupan beragama masyarakat secara umum homogen, dengan Islam memainkan peran sentral dalam norma sosial, nilai-nilai keluarga, dan praktik budaya. Dalam konteks konflik, identitas Islam juga kadang-kadang menjadi salah satu elemen pemersatu bagi rakyat Sahrawi dalam perjuangan mereka.
9. Budaya
Budaya Sahara Barat, khususnya budaya orang Sahrawi, adalah perpaduan unik dari tradisi Berber dan Arab Badui, yang telah beradaptasi selama berabad-abad dengan lingkungan gurun yang keras. Konflik yang berkepanjangan dan kehidupan di pengasingan bagi sebagian besar populasi Sahrawi juga telah membentuk ekspresi budaya kontemporer mereka, yang seringkali mencerminkan tema-tema ketahanan, identitas, dan kerinduan akan tanah air.
9.1. Kehidupan tradisional dan struktur sosial

Secara tradisional, masyarakat Sahrawi adalah nomaden atau semi-nomaden, dengan kehidupan yang berpusat pada penggembalaan unta, kambing, dan domba. Gaya hidup ini menuntut mobilitas tinggi untuk mencari padang rumput dan sumber air di lingkungan gurun yang luas. Tenda tradisional Sahrawi, yang disebut khaima, terbuat dari bulu unta atau kambing dan dirancang agar mudah dibongkar pasang.
Struktur sosial Sahrawi secara tradisional bersifat kesukuan. Masyarakat terdiri dari beberapa suku utama (seperti Reguibat, Tekna, Oulad Delim) yang terbagi lagi menjadi klan dan keluarga besar. Sistem kekerabatan patrilineal sangat penting, dan loyalitas terhadap suku dan keluarga menjadi landasan utama organisasi sosial dan politik. Meskipun ada hierarki dalam masyarakat suku, pengambilan keputusan seringkali melibatkan konsensus di antara para tetua dan tokoh masyarakat.
Keramahan adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Sahrawi. Tamu akan disambut dengan upacara minum teh tradisional (dikenal sebagai athai), yang melibatkan tiga sajian teh dengan rasa yang berbeda, melambangkan kehidupan: pahit seperti kematian, manis seperti kehidupan, dan lembut seperti cinta.
Dalam beberapa dekade terakhir, terutama sejak dimulainya konflik pada tahun 1975, gaya hidup tradisional Sahrawi telah mengalami perubahan besar. Banyak yang terpaksa meninggalkan kehidupan nomaden dan menetap di kota-kota di wilayah yang dikuasai Maroko atau di kamp-kamp pengungsi di Tindouf, Aljazair. Transisi menuju masyarakat yang lebih menetap dan urban ini telah membawa tantangan baru, termasuk hilangnya sebagian tradisi nomaden dan perubahan dalam struktur sosial. Namun, banyak elemen budaya tradisional, seperti bahasa Hassaniya, musik, puisi, dan nilai-nilai sosial, terus dipertahankan dan menjadi bagian penting dari identitas Sahrawi.
9.2. Seni dan ekspresi budaya

Seni dan ekspresi budaya Sahrawi kaya dan beragam, mencerminkan sejarah, lingkungan, dan pengalaman kolektif mereka. Beberapa bentuk seni dan ekspresi budaya utama meliputi:
1. **Musik Tradisional**: Musik Sahrawi, yang dikenal sebagai Hawl, memiliki ciri khas dengan melodi melankolis dan ritme yang kompleks, seringkali dimainkan dengan alat musik tradisional seperti tidinit (sejenis lute yang dimainkan pria) dan ardin (sejenis harpa yang dimainkan wanita), serta drum seperti t'bol. Lirik lagu seringkali berupa puisi yang menceritakan tentang cinta, alam, sejarah suku, dan perjuangan.
2. **Puisi Lisan**: Puisi memiliki tempat yang sangat penting dalam budaya Sahrawi dan merupakan sarana utama untuk menyampaikan cerita, sejarah, nilai-nilai, dan emosi. Para penyair, baik pria maupun wanita, sangat dihormati. Puisi lisan seringkali diimprovisasi dan dipertandingkan dalam acara-acara sosial. Tema-tema umum termasuk keindahan gurun, kehidupan nomaden, cinta, keberanian, dan dalam konteks modern, perjuangan untuk kemerdekaan dan kerinduan akan tanah air.
3. **Tarian**: Tarian tradisional Sahrawi bervariasi antar suku dan wilayah, seringkali melibatkan gerakan tangan dan kaki yang ekspresif, diiringi oleh musik dan nyanyian. Tarian sering ditampilkan dalam perayaan pernikahan dan acara-acara sosial lainnya.
4. **Kerajinan Tangan**: Kerajinan tangan Sahrawi mencakup pembuatan perhiasan dari perak, anyaman dari kulit (seperti tas, bantal, dan pelana unta), serta tembikar. Motif dan desain seringkali geometris dan simbolis.
5. **Festival Film Internasional Sahara (FiSahara)**: Didirikan pada tahun 2003, Festival Film Internasional Sahara adalah festival film tahunan yang diadakan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair. Festival ini bertujuan untuk memberikan hiburan, pendidikan, dan sarana ekspresi bagi para pengungsi, serta meningkatkan kesadaran internasional tentang situasi Sahrawi. Festival ini menampilkan film-film dari seluruh dunia, serta lokakarya dan kegiatan budaya lainnya.
6. **Seni Grafiti dan Seni Rupa Kontemporer**: Dalam beberapa tahun terakhir, seni grafiti dan seni rupa kontemporer telah muncul sebagai sarana ekspresi bagi seniman muda Sahrawi, terutama di kamp-kamp pengungsi. Acara seperti ARTifariti (Pertemuan Seni dan Hak Asasi Manusia Internasional di Sahara Barat) telah membawa seniman internasional ke kamp-kamp untuk berkolaborasi dengan seniman lokal, menghasilkan karya-karya yang seringkali mencerminkan tema-tema perjuangan, identitas, dan harapan.
Seni dan budaya memainkan peran penting dalam menjaga identitas Sahrawi, terutama bagi mereka yang hidup dalam pengasingan. Ini menjadi sarana untuk melestarikan warisan, menyampaikan cerita kepada generasi muda, dan mengekspresikan aspirasi politik dan sosial mereka kepada dunia.
9.3. Masyarakat dan perempuan

Secara tradisional, perempuan Sahrawi memegang peran yang signifikan dan memiliki tingkat otonomi yang relatif tinggi dalam masyarakat nomaden. Mereka bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga (tenda khaima), membesarkan anak-anak, dan seringkali memainkan peran penting dalam ekonomi keluarga, misalnya melalui pembuatan kerajinan tangan atau pengolahan produk susu. Dalam beberapa kasus, perempuan juga dapat mewarisi dan memiliki harta benda. Meskipun masyarakat Sahrawi bersifat patrilineal, garis keturunan ibu juga dihormati, dan perempuan seringkali menjadi penjaga tradisi lisan, puisi, dan pengetahuan budaya.
Dalam konteks konflik Sahara Barat dan kehidupan di kamp-kamp pengungsi di Tindouf, Aljazair, peran perempuan Sahrawi menjadi semakin menonjol. Sejak awal konflik, ketika banyak pria terlibat dalam perjuangan bersenjata, perempuan mengambil alih tanggung jawab utama dalam membangun dan mengelola kamp-kamp pengungsi. Mereka terlibat aktif dalam administrasi kamp, distribusi bantuan kemanusiaan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Partisipasi perempuan Sahrawi dalam kehidupan politik juga signifikan. Front Polisario telah mendorong partisipasi perempuan dalam struktur politik dan pengambilan keputusan. Uni Nasional Perempuan Sahrawi (UNMS) adalah organisasi perempuan utama yang aktif dalam mempromosikan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan partisipasi perempuan dalam semua aspek kehidupan. Perempuan Sahrawi memiliki perwakilan di Parlemen Sahrawi (Dewan Nasional Sahrawi) dan dalam berbagai posisi pemerintahan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) di pengasingan.
Meskipun ada kemajuan dalam partisipasi perempuan, tantangan tetap ada. Kondisi kehidupan yang sulit di kamp-kamp pengungsi, keterbatasan sumber daya, dan norma-norma budaya tradisional tertentu masih dapat membatasi peluang bagi perempuan. Namun, secara umum, perempuan Sahrawi diakui karena ketahanan, kepemimpinan, dan kontribusi mereka yang tak ternilai dalam menjaga kohesi sosial, melestarikan budaya, dan melanjutkan perjuangan untuk penentuan nasib sendiri. Perjuangan untuk hak-hak perempuan, akses terhadap pendidikan, dan partisipasi sosial-politik yang lebih besar terus menjadi agenda penting bagi gerakan perempuan Sahrawi. Di wilayah Sahara Barat yang dikuasai Maroko, perempuan Sahrawi juga aktif dalam gerakan hak asasi manusia dan protes damai, seringkali menghadapi risiko represi dari aparat keamanan.
10. Hubungan luar negeri
Hubungan luar negeri terkait Sahara Barat sangat kompleks dan didominasi oleh sengketa kedaulatan antara Maroko dan Front Polisario yang mendeklarasikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS). Kedua belah pihak aktif melakukan upaya diplomatik untuk mendapatkan dukungan internasional atas posisi masing-masing. Reaksi dan posisi komunitas internasional terhadap sengketa ini beragam dan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi masing-masing negara.
10.1. Pengakuan internasional dan diplomasi Republik Demokratik Arab Sahrawi
Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), yang diproklamasikan oleh Front Polisario pada tahun 1976, telah mendapatkan pengakuan diplomatik resmi dari sejumlah negara di dunia, meskipun jumlahnya berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pada puncaknya, lebih dari 80 negara pernah mengakui RDAS. Saat ini, sekitar 46 negara anggota PBB mengakui RDAS. Mayoritas negara yang mengakui RDAS berasal dari Afrika dan Amerika Latin, yang banyak di antaranya memiliki sejarah perjuangan antikolonial atau kebijakan luar negeri yang mendukung hak penentuan nasib sendiri.
Salah satu platform diplomatik terpenting bagi RDAS adalah Uni Afrika (UA). RDAS menjadi anggota Organisasi Kesatuan Afrika (OAU), pendahulu UA, pada tahun 1982. Keanggotaan ini menyebabkan Maroko menarik diri dari OAU pada tahun 1984 sebagai protes. Meskipun Maroko kembali bergabung dengan UA pada tahun 2017, RDAS tetap menjadi anggota penuh UA, yang memberikan legitimasi penting dan platform bagi RDAS untuk menyuarakan posisinya di tingkat regional dan internasional.
RDAS memiliki perwakilan diplomatik (kedutaan besar atau misi) di sejumlah negara yang mengakuinya. Diplomasi RDAS berfokus pada upaya untuk:
- Memperoleh pengakuan internasional yang lebih luas.
- Mendapatkan dukungan bagi hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum yang bebas dan adil.
- Menyoroti situasi hak asasi manusia di wilayah Sahara Barat yang dikuasai Maroko.
- Menggalang dukungan kemanusiaan bagi para pengungsi Sahrawi di kamp-kamp Tindouf, Aljazair.
- Menentang eksploitasi sumber daya alam Sahara Barat oleh Maroko dan perusahaan asing tanpa persetujuan rakyat Sahrawi.
Negara-negara utama yang secara konsisten mendukung RDAS dan Front Polisario termasuk Aljazair, yang menjadi tuan rumah bagi pemerintahan RDAS di pengasingan dan kamp-kamp pengungsi, serta memberikan dukungan politik, militer, dan kemanusiaan yang signifikan. Afrika Selatan juga merupakan pendukung kuat RDAS. Beberapa negara telah menangguhkan atau menarik pengakuannya terhadap RDAS, seringkali karena tekanan diplomatik atau perubahan hubungan dengan Maroko.
10.2. Kebijakan luar negeri Maroko dan dukungan internasional
Kerajaan Maroko menganggap Sahara Barat, yang disebutnya sebagai Provinsi Selatan, sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatannya. Kebijakan luar negeri Maroko terkait isu ini difokuskan pada upaya untuk memperkuat klaimnya dan mendapatkan dukungan internasional atas posisinya. Strategi diplomatik utama Maroko meliputi:
1. **Mempromosikan Proposal Otonomi**: Sejak tahun 2007, Maroko secara aktif mempromosikan proposalnya untuk memberikan otonomi luas kepada Sahara Barat di bawah kedaulatan Maroko sebagai solusi "realistis" dan "kompromi" atas konflik tersebut. Maroko berpendapat bahwa referendum kemerdekaan tidak lagi relevan atau praktis.
2. **Lobi Politik dan Ekonomi**: Maroko melakukan lobi intensif terhadap negara-negara kunci, terutama anggota Dewan Keamanan PBB (seperti Prancis dan Amerika Serikat), serta negara-negara Uni Eropa dan Liga Arab, untuk mendapatkan dukungan politik dan ekonomi bagi posisinya. Maroko seringkali menggunakan pengaruh ekonomi dan kerja sama keamanan sebagai alat diplomasi.
3. **Menentang Pengakuan RDAS**: Maroko secara aktif berupaya mencegah negara lain mengakui RDAS dan mendorong negara-negara yang telah mengakui RDAS untuk menarik atau menangguhkan pengakuannya.
4. **Investasi dan Pembangunan di Wilayah Sengketa**: Maroko melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur dan pembangunan di Sahara Barat untuk menunjukkan komitmennya terhadap wilayah tersebut dan untuk mengintegrasikannya lebih lanjut ke dalam Maroko.
5. **Normalisasi Hubungan dengan Israel**: Pada tahun 2020, Maroko menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai bagian dari kesepakatan di mana Amerika Serikat mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat.
Maroko mendapatkan dukungan dari banyak negara di Dunia Arab dan Dunia Islam. Prancis secara tradisional merupakan sekutu dekat Maroko dan mendukung proposal otonominya. Amerika Serikat, setelah pengakuan kedaulatan Maroko atas Sahara Barat pada tahun 2020 di bawah pemerintahan Trump, juga cenderung mendukung posisi Maroko, meskipun pemerintahan Biden telah menyatakan dukungan untuk proses politik yang dipimpin PBB. Spanyol, mantan penguasa kolonial, pada tahun 2022 juga menyatakan dukungannya terhadap proposal otonomi Maroko, sebuah perubahan signifikan dari posisi netral sebelumnya. Beberapa negara Afrika juga mendukung posisi Maroko.
Dalam forum-forum internasional seperti PBB, Maroko secara konsisten menolak setiap upaya yang dianggapnya dapat mengarah pada kemerdekaan Sahara Barat dan menekankan integritas teritorialnya.
10.3. Hubungan dengan negara-negara kunci terkait
Beberapa negara memainkan peran kunci atau memiliki pengaruh signifikan dalam konflik Sahara Barat karena alasan historis, geografis, atau politik:
1. **Aljazair**: Aljazair adalah pendukung utama Front Polisario dan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS). Aljazair menyediakan tempat bagi pemerintahan dalam pengasingan RDAS dan kamp-kamp pengungsi Sahrawi di wilayah Tindouf. Aljazair memberikan dukungan politik, diplomatik, militer, dan kemanusiaan yang signifikan kepada Polisario. Aljazair berpendapat bahwa konflik Sahara Barat adalah masalah dekolonisasi dan mendukung hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum yang bebas dan adil. Hubungan antara Aljazair dan Maroko seringkali tegang karena isu Sahara Barat, dan perbatasan darat antara kedua negara telah ditutup selama bertahun-tahun. Aljazair secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko pada Agustus 2021, dengan alasan "tindakan permusuhan" dari Maroko, termasuk terkait Sahara Barat.
2. **Spanyol**: Sebagai mantan penguasa kolonial Sahara Barat, Spanyol memiliki tanggung jawab historis dan hukum dalam proses dekolonisasi. Secara tradisional, Spanyol mempertahankan posisi netral, mendukung solusi yang dinegosiasikan melalui PBB yang menghormati hak penentuan nasib sendiri rakyat Sahrawi. Namun, pada Maret 2022, pemerintah Spanyol secara mengejutkan mengubah posisinya dan mendukung proposal otonomi Maroko sebagai "dasar yang paling serius, realistis, dan kredibel." Langkah ini disambut baik oleh Maroko tetapi dikritik keras oleh Front Polisario, Aljazair, dan banyak pihak di dalam Spanyol sendiri. Perubahan kebijakan ini dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Maroko setelah serangkaian krisis diplomatik.
3. **Prancis**: Prancis adalah sekutu dekat Maroko dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto. Prancis secara konsisten mendukung proposal otonomi Maroko dan memainkan peran penting dalam membentuk resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Sahara Barat. Dukungan Prancis terhadap Maroko seringkali dikritik oleh Front Polisario sebagai penghalang bagi solusi yang adil.
4. **Amerika Serikat**: Amerika Serikat juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki pengaruh signifikan. Kebijakan AS terhadap Sahara Barat telah bergeser dari waktu ke waktu. Secara tradisional, AS mendukung upaya PBB dan solusi yang dinegosiasikan. Namun, pada Desember 2020, pemerintahan Donald Trump mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat sebagai imbalan atas normalisasi hubungan Maroko dengan Israel. Pemerintahan Joe Biden belum membatalkan pengakuan tersebut tetapi telah menyatakan kembali dukungan untuk proses politik yang dipimpin PBB untuk mencapai solusi yang adil, langgeng, dan dapat diterima bersama.
5. **Mauritania**: Mauritania berbatasan dengan Sahara Barat di selatan dan timur. Pada awalnya, Mauritania bersama Maroko mengklaim dan menduduki sebagian wilayah Sahara Barat setelah penarikan Spanyol. Namun, setelah perang dengan Front Polisario, Mauritania menarik diri dari konflik pada tahun 1979, melepaskan semua klaimnya, dan mengakui RDAS (meskipun kemudian menangguhkan pengakuan tersebut). Mauritania saat ini mempertahankan posisi netral dalam konflik dan prihatin dengan stabilitas regional serta dampak kemanusiaan dari konflik tersebut, termasuk keberadaan pengungsi Sahrawi di wilayahnya.
Perubahan kebijakan dari negara-negara kunci ini dapat berdampak signifikan terhadap dinamika konflik dan upaya penyelesaiannya. Situasi hak asasi manusia di wilayah tersebut juga sering menjadi perhatian dalam hubungan bilateral antara negara-negara ini dengan Maroko dan Aljazair.